• Home
  • Product Us
  • Contact Us
  • Marketing Plan
  • F.A.Q
  • Testimonial
  • Gallery
  • B.F

  • APAKAH ANDA INGIN NONTON FILM PORNO DAN DOWNLOAD SEPUASNYA DAN JUGA ADA TAWARAN INVESTASI SILAHKAN BUKA MENU B.F

    Minggu, 27 November 2011

    MANAGEMEN

    BERBISNIS DENGAN TEDUH

    Steven Pinker dalam The Stuff of Thought mengatakan pola pikir manusia pada dasarnya bersifat metaforis. Sadar atau tidak, percakapan sehari-hari kita dipenuhi metafora yang terkadang jumlahnya bisa belasan frasa setiap jamnya.

    George Lakoff dan Mark Johnson dalam Metaphors We Live By mengungkapkan bahwa metafora adalah cara memahami suatu gagasan dengan cara lain Misalnya: Orang kaya di Jakarta jumlahnya "membubung tinggi" Harga saham "menukik turun" dengan drastis, dan seterusnya. Namun, metafora yang digunakan seseorang tidaklah acak. "They are grounded in our embodied experienced ­ the reality of being a person living in a body, on a planet with gravity," ujar mereka. Hal itu melekat dalam tindakan, pengalaman dan realitas seseorang.
    Apa yang terjadi bila metafora dipakai untuk memahami bisnis lewat pengertian "perang"? Contohnya seperti kalimat berikut:

    • Menjelang Natal toko-toko melakukan perang diskon.
    • Perusahaan itu sedang menyiapkan strategi baru dalam melakukan gerilya pemasaran.
    • Mereka membuat gugus tugas untuk menyerang pesaing di kota itu.
    • Misi pemimpin cabang di daerah ini adalah merebut kembali pelanggan yang beralih ke perusahaan lain.
    • Kedua perusahaan itu berkompetisi sampai titik darah penghabisan.

    Daftarnya bisa diperpanjang dengan menambahkan kosakata: membidik, target, operasi, rekrut, taktik dan seterusnya yang kesemuanya itu adalah idiom dalam dunia peperangan.
    Pola pikir peperangan (warfare mind set) sesungguhnya sudah lama dipakai di dunia bisnis dan manajemen. Akarnya mungkin bisa dirunut mulai dari jenderal besar seperti Sun Tsu dan Carl von Clausewitz, akademisi seperti Al Ries dan Jack Trout (1985) dengan Perang Pemasaran-nya, Gary Hamel dan C.K. Prahalad (1996) dengan Competing for the Future-nya, hingga Henry Mintzberg (2002) dengan Strategi Safari-nya. Analisis Strengths, Weaknesses, Oportunities, and Threats (SWOT), terutama pada poin kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats) sejatinya adalah contoh pola pikir perang.
    Karena grounded in our embodied experienced ­ menyatu dengan pengalaman/tindakan kita sehari-hari – maka tidaklah mengherankan, metafora bisnis ibarat perang seperti contoh di atas mudah menggiring seseorang ke arah pola pikir kelangkaan (scarcity mind set) dan ancaman (threat). Dari sini sering timbul nafsu untuk menumpuk sumber daya alam (kumpulkan sebanyak-banyaknya selagi Anda bisa), serta tindakan menyalahgunakan sumber daya manusia (manfaatkan anak buahmu selagi masih sehat).
    Strategi ini mungkin bagus untuk jangka pendek, tetapi buat jangka panjang amat melelahkan dan menimbulkan dampak buruk terhadap planet bumi beserta isinya. Bila kita merencanakan sebuah strategi berdasarkan premis kelangkaan dan ancaman, kita cenderung mengadopsi model yang mendominasi dan menghadapi "musuh" yang kita takuti atau tidak kita sukai lewat tindakan agresif.
    Model-model seperti ini berisiko melanggengkan pola pikir memecah belah dan mengendalikan, bertarung dan mengalahkan, serta menciptakan dunia yang pilihannya hanya satu: Menang atau mati. Mereka atau kita!
    Tak bisa dimungkiri bahwa model-model seperti ini barangkali cocok diadopsi di masa lalu. Namun, di era global yang saling terhubung seperti sekarang, keefektifannya mulai dipertanyakan. Kini orang mulai menyadari bahwa ketika kita “menghajar” apa yang kita sebut sebagai "musuh", sering kali dampaknya malah negatif secara keseluruhan sistem – di mana kita merupakan bagian dari sistem itu.
    Nampaknya sekarang sudah tidak pas lagi membangun masa depan yang kita dambakan lewat metafora dan pola pikir peperangan. Lebih baik kita pikirkan model lain yang lebih damai, bersahabat dan langgeng.
    Dewasa ini timbul pemikiran yang orientasinya tidak lagi berperang, melainkan berkolaborasi. Timbul istilah yang lebih sejuk seperti: inovasi, inspirasi, imajinasi, knowledge sharing, positive change, dream, visi, tujuan (purpose), kelangsungan (sustainability), kemakmuran (prosperity), nilai (value), dan seterusnya.
    Bahkan di era sekarang, metafora "peras santannya, buang ampasnya" dalam memperlakukan karyawan mulai disingkirkan. Pebisnis modern kini lebih suka berpikir bagaimana mengembangkan dan meningkatkan kelebihan yang dimiliki para stafnya agar bisa lebih tinggi lagi.
    Mereka percaya pada metafora sky is the limit. Alih-alih mengobok-obok kelemahan orang yang selain tidak bermanfaat, juga cuma menggoreskan luka dan sering menimbulkan dendam, lebih baik mencari cara untuk mengungkit (leverage) kelebihan, berkolaborasi dan menyediakan sarana yang memungkinkan hal ini terjadi.
    Pola manajemen Command and Control sekarang sedang bertransformasi menjadi model Coaching (baca buku saya: Double Benefit from Business Coaching: Good Company and Great Manager, 2008). Untuk mengeksplorasi kelebihan karyawan Anda, coba simak 8 pertanyaan di bawah ini dan jawab dalam hati:

    • Apa hal terbaik yang terjadi pada diri Anda beberapa minggu terakhir ini?
    • Apa yang paling Anda sukai pada pekerjaan Anda?
    • Ceritakan pada saya ketika Anda berada dalam keadaan terbaik Anda.
    • Ceritakan pada saya tentang beberapa keberhasilan dalam hidup Anda.
    • Ceritakan pada saya tiga kekuatan terhebat Anda.
    • Apa yang paling menggembirakan tentang pekerjaan Anda?
    • Siapa yang menjadi panutan terpenting dalam hidup Anda? Secara profesional? Secara pribadi? Apa hal istimewa yang Anda pelajari dari orang itu?
    • Pada situasi bagaimana yang merupakan saat terbaik bagi Anda mempelajari sesuatu?
    Sekarang tarik napas panjang. Bagaimana rasanya ketika Anda sendiri yang menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas? Dapatkah Anda bayangkan bila Anda mengajukan pertanyaan tersebut kepada para staf Anda? Akankah mereka lebih termotivasi? Lebih berpikir positif? Lebih bergairah dalam bekerja? Lebih produktif? Lebih terjadi persahabatan di antara mereka? Dan lebih teduh suasana kantor Anda? Saya yakin Anda tahu jawabannya.

    Penulis adalah President IndoNLP, perintis Neuro LinguisticProgramming di Indonesia. (Diambil dari kolom "Pernik" di Majalah SWA)


    Madonna Way

    "Lupakan Sekolah Bisnis Harvard. Para pemimpin bisnis harus belajar dari Madonna." Itulah petuah cerdas yang dikemukakan Oren Harari. Lantaran petuah tersebut terlontar dari pakar manajemen terkemuka melalui bukunya Break from the Pack, maka para pemimpin bisnis global mendengarkan.

    Mengapa Madonna? Inilah sosok selebritas berusia lebih dari 50 tahun (lahir 16 Agustus 1958) yang sampai kini tetap mampu mempertahankan pamornya. Jagat panggung Madonna dimulai pada 1983. Melalui berbagai strategi sekaligus kontroversi, sepanjang 27 tahun karier selebritasnya tetap berada di puncak panggung hiburan. Tidak peduli ketika Tina Turner, Whitney Houston hingga Britney Spears sedang di puncak kejayaan, tetap saja reputasi Madonna tidak tersingkirkan.

    Harari membandingkan dengan berbagai raksasa industri yang pada masanya begitu digdaya, seperti GM, Kodak dan AT&T, tetapi sekarang kejayaan mereka terlipat untuk kemudian menjadi medioker di pinggir lapangan kompetisi. Padahal semasa kejayaannya tidak terlintas dalam benak setiap orang bahwa perusahaan itu bakal tumbang menghadapi persaingan. Bandingkan dengan Madonna yang tidak lagi muda lantaran termakan usia. Madonna mampu mengatasi pesaing-pesaing barunya yang jelas jauh lebih muda, lebih cantik dan lebih energik. Dengan dua strategi andal: mem-branding-kan diri secara konsisten dan mempertahankan kredibilitas. Oleh Harari strategi ini disebut penemuan kembali (reinventing).

    Dalam dua bulan terakhir, negeri ini kehilangan tiga tokoh besar bisnis. Pertama wafatnya Michael Ruslim (CEO PT Astra International/AI), kemudian disusul oleh Soetjipto Sosrodjojo (pendiri Grup Sosro) dan Johannes Ferdinand Katuari (Chairman dan Direktur Grup Wings). Usia ketiga perusahaan pimpinan almarhum mirip dengan usia Madonna, lebih dari 50 tahun. Untuk konteks global, perusahaan berusia 50-an tahun jelas masih disebut usia muda. Namun untuk konteks Indonesia, usia demikian ini pantas disebut usia panjang (tua). Walaupun tua, justru sekarang ketiga perusahaan ini sedang berada di posisi puncak.

    Di tangan Michael, AI menjadi perusahaan dengan aset di atas Rp 100 triliun. Sementara di tangan Sosrodjojo (juga dibantu anggota keluarga lainnya), Sosro mengalami loncatan pertumbuhan. Bahkan beberapa bulan lalu berhasil memperoleh hak waralaba jaringan McDonald’s Indonesia. Begitu pula, Katuari bersaudara dengan Grup Wings-nya layak diapresiasi. Inilah perusahaan asli Indonesia yang mampu mengibarkan bendera di negeri seberang. Adapun produk mi instannya (Mie Sedap) mampu mengubah peta persaingan mi instan yang selama puluhan tahun stagnan.

    Mirip dengan Madonna, ketiga perusahaan ini menggunakan strategi penemuan kembali secara konsisten dan selalu menjaga kredibilitas. Berbicara otomotif tentu tidak bisa melepaskan diri dari produk-produk keluaran AI. Penemuan kembali terus-menerus yang dilakukan oleh Toyota menjadikan Toyota sulit dikejar pesaingnya. Toyota Innova dan Avanza menjadi barometer atas konsistensi penemuan kembali ini. Sementara aliansi strategis dengan Daihatsu menjadikan Daihatsu terkerek penjualannya dengan tidak menjegal penjualan Toyota. Bahkan Daihatsu sekarang menjadi produsen nomor dua terbesar setelah Toyota.

    Grup Sosro (Grup Rekso) tidak ketinggalan dalam mengedepankan strategi penemuan kembali. Setelah sukses dengan Teh Botol Sosro, Grup Rekso mengembangkan varian lain dengan tetap bertumpu pada bahan baku teh. Muncullah Tebs, Joy Green Tea, Fruit Tea, S-Tea dan Teh Celup Sosro. Atau produk di luar teh, seperti Happy Jus, Country Choice dan Prima. Benar, Rekso hanya menjual "produk kuno" berbahan utama teh. Namun, dengan penemuan kembali melalui produk-produk variatif, strategi pemasaran dan jaringan distribusi, Rekso menjadi jawara utama di bidangnya.

    Bagaimana dengan penemuan kembali Grup Wings? Tepat bila dikatakan produk Wings hanya pengekor produk keluaran Unilever. Namun pencapaian kinerja naik terus-menerus dan mampu menggoyang singgasana tahta Unilever merupakan pencapaian yang pantas diapresiasi. Apalagi jelajah waktu operasional Unilever di Indonesia sudah sangat tua. Bahkan lebih tua dibanding usia negara Indonesia sendiri, sedangkan Wings dimulai dari industri rumahan di Surabaya.

    Penemuan kembali Wings lebih pada penetrasi pasar yang mampu dibeli oleh masyarakat sampai golongan kesrakat sekalipun. Variasi produk terus-menerus dengan ditopang distribusi dan pemasaran yang konsisten menjadikan Wings ­ seperti namanya ­ terbang menjelajah negeri-negeri tetangga hingga ke pelosok Timur Tengah dan sebagian Afrika. Dan untuk konteks kekinian, ujung dari penemuan kembali ini tak lain Mie Sedap yang pasarnya sungguh sedap.

    Penemuan kembali bisa menemukan momentumnya apabila didukung oleh kredibilitas perusahaan. Bagaimana AI, Rekso dan Wings membangun kredibilitas perusahaan? Tak salah dimulai dari pemimpin tertingginya. Hingga sampai wafatnya, Michael Ruslim, Soetjipto Sosrodjojo dan Johannes Ferdinand Katuari menunjukkan diri sebagai pemimpin bertangan midas dengan nilai-nilai keutamaan tanpa tandingan. Nyaris tidak ada selentingan minor menyoal tentang moral, etika dan integritas dari ketiga sosok ini. Sehingga wajarlah, AI, Rekso dan Wings memiliki nama harum, tidak saja bagi karyawan, pemasok dan konsumennya. Namun juga bagi negerinya: Indonesia.

    Beristirahatlah dalam damai, Pak Michael, Pak Sosrodjojo dan Pak Katuari.

    *Penulis adalah trainer bisnis, Mitra Pengelola High Leap Consulting.


    Crisisu Managemento

    Frasa yang menjadi judul artikel ini sedang in di kalangan profesional Jepang. Bahkan dalam beberapa aspek, crisisu yang sedang dialami beberapa perusahaan otomotif ini telah menjadi tsunami di sektor bisnis. Bukan soal sekadar penarikan (recall) yang mengakibatkan kerugian besar secara finansial, melainkan badai dahsyat soal citra suatu bangsa yang sudah sangat identik dengan excellento.
    Kejadian ini bukan yang pertama. Tahun 2006, Yutaka Nakagawa selaku Executive Deputy President Sony terpaksa harus membungkuk untuk meminta maaf atas terjadinya kealpaan kualitas baterai. Penarikan baterai harus dilakukan. Tahun 2008, kejadian berulang pada Japan Tobacco Food Division: ditemukan adanya pestisida di produk dumplings. Tahun 2010, giliran Akio Toyoda yang harus melakukan bungkuk hormat untuk meminta maaf, mendampingi sejumlah perusahaan otomotif Jepang yang juga terpaksa harus menarik beberapa produk karena ditemukan kesalahan karena kontrol kualitas yang tak seiring dengan dantotsu.
    Crisisu para profesional berkualitas di Toyota menular ke seluruh komunitas pebisnis. Bahkan, masalah yang dihadapi Toyota sudah menjadi masalah bangsa. Seluruh rakyat terdiam, tak percaya dan tak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Toyota sebagai simbol kualitas nomor wahid atau dantotsu mendadak sontak menjadi bulan-bulanan dan ejekan media Barat. Tsunami ini membuat para pemimpin harus melakukan tindakan yang revolusioner agar dampaknya tidak menjadi akut. Di inilah crisisu managemento menjadi pilar baru yang harus dimiliki pemimpin yang ingin membawa perusahaannya ke arah pertumbuhan yang lebih kuat dibandingkan sebelum terjadinya krisis.
    Pemimpin yang kuat harus mengerti bahwa krisis tidak boleh dibiarkan berlarut, lebih cepat diselesaikan lebih baik. Harus segera dilakukan penanganan agar tidak berubah menjadi bola liar yang menghantam semua bagian yang seharusnya tidak berkepentingan. Akio Toyoda tahu persis. Ia tidak boleh berdiam di Toyota City. Ia harus ing ngarso sung tulodo, tampil di depan tanpa mendelegasikan kepada pihak yang secara mikro bertanggung jawab. Ia adalah pemegang tanggung gugat, dan ia harus berhadapan dengan pemangku kepentingan terbesar, yakni pelanggan dan regulator. Ia terbang ke Capitol Hill bukan untuk menyalahkan pemasok atau pihak lain, ia meminta maaf dan berjanji akan melakukan perubahan yang dramatis untuk menjamin keselamatan pelanggannya.
    Kecepatan bertindak dan keberaniannnya berhadapan dengan publik dalam negeri dan internasional mengubah antipati menjadi simpati. Bangsa Jepang secara terpadu menyatakan dukungan bagi Toyota. Toyota tidak boleh bangkrut karena Toyota adalah symbol of Japanese quality bukan sekadar too big to fail. Kepercayaan ini muncul setelah pemimpin berani tampil sebagai leader, bukan sekadar administrator dan koordinator. Ini adalah sikap pertama dalam penanganan krisis yang telah berada pada posisi kritis.
    Kedua, pemimpin harus secara paralel memberikan motivasi kepada seluruh karyawan dan mitra pemasok bahwa menyalahkan dan mencari kesalahan bukanlah langkah prioritas. Mengembalikan kepercayaan dan kepercayaan diri seluruh komponen di dalam perusahaan adalah prioritas. Ini adalah sikap ing madya mangun karso. Memberi motivasi bahwa krisis yang sudah menjadi kritis tidak akan menjadi apokalipto atau kiamat. "Yes, We Can" dan "Bersama Kita Bisa" harus dikumandangkan secara berulang-ulang. Stakeholders internal harus yakin pemimpinnya tahu bagaimana mengatasi persoalan. Ini yang menimbulkan motivasi untuk muncul sebagai pemenang. Motivasi bersama untuk tidak kalah oleh krisis. Motivasi bersama untuk membangun kembali puing keterpurukan menjadi fondasi menuju ke pertumbuhan baru yang lebih kuat.
    Secara berlapis, dari pemimpin puncak motivasi ini harus ditularkan ke tingkat manajemen di bawahnya sampai ke setiap individu di organisasinya. Persoalan harus dibuka secara tuntas, brutal facts, tetapi dibarengi dengan brutal action plan untuk mencari langkah penyelamatan yang berorientasi jangka panjang. Kalaupun harganya berupa kerugian yang terbesar, so be it. Pemimpin harus berani amputasi dan ubah haluan dibandingkan dengan membiarkan kapal menabrak karang.
    Ketiga, secara terinci dan seksama membuat kaizen yang sistematis dan cepat. Seluruh perangkat organisasi harus bergerak menuju arah yang sama. Pemimpin mengawasi dari belakang dan memastikan seluruh komponen bergerak bersama dan tidak saling menjatuhkan, tut wuri handayani, bukan tut wuri hanendangi. Reaksi cepat ini harus dikawal dengan ketat. Hasil nyata yang dirasakan pelanggan harus segera terwujud. Bukan sekadar janji. Bukti harus segera terjadi. Pemimpin menjadi inspirator dari belakang untuk memastikan semua berjalan sesuai dengan rencana.
    Kenyataan hidup bahwa krisis tidak bisa dihindari. Kedatangannya sering tak terduga. Melanda siapa saja, entah siap atau tidak. Ini akan menjadi tsunami yang memorak-porandakan kredibiltas atau bahkan menjadi moment of truth baru yang semakin mengokohkan pemimpin menjadi pemimpin yang layak memimpin.
    Kasus Bank Century tidak akan menjadi krisis hubungan antara lembaga eksekutif dan yudikatif, atau bahkan sampai masuk ke pemakzulan. Krisis etika di antara anggota legislatif yang saling menjatuhkan dan berdebat dengan gaya seperti di ring tinju, dengan bahasa yang tidak setara dengan tingginya dan mulianya anggota DPR, tidak menjadi krisis baru pada individu yang dicap oleh konstituennya sebagai "tak pantas untuk 2014". Pengaduan Pak Susno soal markus alias makelar kasus tidak akan menjadi bola panas bagi Polri. Ini hanya bisa diselesaikan dan didinginkan kalau para petinggi yang merasa menjadi pihak yang mengemban amanah tanggung gugat segera cancut kaliwondo untuk menyelesaikan secara cepat, lugas dan transparan.
    Tidak usah menggunakan konsultan yang kompleks, gali kembali nilai luhur Ki Hadjar Dewantoro, maka crisisu managemento akan menjadi ringan.


    *) Penulis dua buku laris Built to Bless dan Lead to Bless Leader. (diambil dari kolom "Pernik" di Majalah)


    Kepemimpinan Itu di Akhir

    Alkisah, suatu ketika, seorang pelacur menemukan seekor anjing yang kehausan. Tanpa berpikir panjang ia membuka sepatunya, mengisinya dengan air, kemudian memberikannya kepada anjing itu. Anjing itu pun meminum air itu dengan penuh gembira dan suka cita. Namun, nasib malang menimpa pelacur tadi. Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, pelacur itu tewas ditabrak kendaraan yang melaju amat cepat. Konon, menurut cerita ini, si pelacur masuk surga. Semua kesalahannya dimaafkan setelah ia menolong seekor anjing dengan penuh kasih.
    Cerita lain mengenai seorang ahli ibadah yang rajin bersembahyang dan menyembah tuhannya. Namun, ketika melihat seekor kucing yang kelaparan, ia sama sekali tidak tergerak untuk memberinya makan. Kucing ini begitu menderita dan menjadi sekarat. Dan ternyata hari itu juga merupakan akhir dari kehidupan sang ahli ibadah. Konon, menurut cerita ini, ia dimasukkan ke dalam neraka.
    Pembaca yang budiman, kedua cerita di atas memberikan ilustrasi kepada kita mengenai betapa pentingnya sebuah akhir yang baik. Bahkan, sesungguhnya akhir itu jauh lebih penting daripada awal. Bukankah nilai seseorang ditentukan dari akhirnya dan bukan awalnya? Seorang yang baik di awal tetapi buruk di akhirnya akan dinilai buruk, sebaliknya seorang yang buruk di awal tetapi baik di akhir akan dinilai baik. Jadi, yang menentukan baik-buruknya bukanlah awal, melainkan akhir.
    Sekarang saya bertanya kepada Anda: mana yang lebih baik mantan ustadz atau mantan penjahat? Bagaimana dengan dua artis berikut ini? Artis pertama dikenal sebagai artis yang baik dan sopan, tetapi kini ia sering berbusana minim dan tampil seronok. Sementara artis kedua, dulu suka berbusana minim dan sering tampil dalam film-film panas. Namun, sekarang ia menutup auratnya rapat-rapat dan dengan anggun menggunakan busana muslimah. Ia meninggalkan semua perilaku buruknya dan menjadi orang yang saleh. Nah, kalau saya meminta kepada Anda untuk memilih yang mana di antara kedua artis ini yang berperilaku baik, saya yakin Anda pasti akan memilih yang kedua. Kriterianya jelas, Anda hanya melihat perilakunya yang sekarang. Singkatnya, akhir itu lebih penting daripada awal.
    Pembaca yang budiman, sesungguhnya apa yang sedang saya bicarakan ini adalah sebuah konsep kepemimpinan. Kepemimpinan, menurut saya, adalah kemampuan mengelola akhir, bukan awal. Mengapa? Karena, siapa pun bisa mengelola yang di awal. Anda tidak perlu belajar kepemimpinan untuk bisa melakukannya. Anda cukup menggunakan akal sehat dan melakukan apa yang perlu dilakukan secara alami. Namun, untuk mengelola yang di akhir, Anda betul-betul membutuhkan kepemimpinan. Tanpa kepemimpinan, Anda pasti akan mengalami kegagalan. Coba Anda pikirkan contoh-contoh yang saya sebutkan berikut ini.
    Berapa banyak orang yang ketika mulai bekerja di suatu tempat memulainya dengan baik-baik? Saya kira hampir semua orang di dunia ini memulai sebuah pekerjaan di kantor baru dengan baik-baik. Ya, tentu saja. Siapa yang mau menerima Anda kalau Anda tidak memulai segala sesuatunya dengan baik-baik? Akan tetapi, coba Anda perhatikan, berapa banyak orang yang mengakhiri kerjanya di suatu tempat juga dengan baik-baik? Tidak usah jauh-jauh, Anda cukup melihat pengalaman Anda sendiri maupun pengalaman orang-orang di sekitar Anda.
    Bagaimana dengan dua insan yang jatuh cinta kemudian memutuskan menikah? Saya kira hampir setiap orang menikah secara baik-baik. Namun, apa yang terjadi ketika bercerai? Apakah mereka juga bercerai secara baik-baik? Bukankah jauh lebih banyak orang yang mengakhiri hubungan kasih mereka dengan saling berteriak, mencaci, memaki, bermusuhan, dan tidak saling menyapa?
    Bagaimana juga dengan kerja sama bisnis? Bukankah hampir semua orang memulainya dengan baik-baik? Dan bukankah banyak sekali orang yang mengakhiri kerja sama tersebut dengan kemarahan, sakit hati dan permusuhan?
    Mengapa kita senantiasa memulai sebuah hubungan dengan manis, tetapi mengakhirinya dengan pahit? Inilah penyebab uatamanya. Ketika memulai sebuah hubungan, posisi orang itu di mata kita sungguh penting. Melalui orang itulah kita akan bisa mencapai apa yang kita inginkan. Jadi, kita pasti berusaha berbaik-baik dengannya.
    Sementara ketika mengakhiri hubungan, kepentingan kita sudah berubah. Ini membuat posisi orang tersebut menjadi tidak penting lagi. Itulah sebabnya, kita mempraktikkan pepatah "Habis manis sepah dibuang".
    Kalau demikian halnya, sudah jelaslah bahwa kebaikan yang kita lakukan di awal itu sesungguhnya bukanlah kebaikan, melainkan sekadar sebuah kepentingan. Kebaikan senantiasa dilandasi kasih. Dan ketika kita bicara mengenai kasih, kita akan selalu melakukan kebaikan, di awal maupun di akhir. Namun, tidak demikian dengan "kebaikan" yang dasarnya adalah kepentingan. Kebaikan seperti ini semu. Ia akan segera menghilang begitu kepentingannya menghilang.
    Orang yang memiliki kasih mempunyai keindahan yang luar biasa di dalam dirinya. Dorongan kebaikannya berasal dari dalam. Sementara orang yang baik karena dasar kepentingan, dorongannya adalah dari luar. Karena itu, kebaikan sesungguhnya belumlah menyatu dalam dirinya. Kebaikan hanyalah merupakan topeng dari kepentingan dan alat untuk mendapatkan keuntungan. Ini seperti rumus utama dalam dunia politik: tidak ada kawan sejati, tidak ada musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.
    Orang yang memiliki kasih mempunyai kebaikan sejati. Mereka baik di awal maupun di akhir. Bagi mereka, tak ada awal dan tak ada akhir, yang ada hanyalah kebaikan yang abadi. Bahkan, akhir mereka senantiasa lebih manis dan lebih indah daripada awalnya. Ini karena kasih senantiasa berkembang, tumbuh dan mendekatkan jarak di antara dua hati.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar